Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80-150 H) yang terkenal dengan sebutan “Imamul A`dzham” (Imam Agung) adalah salah satu dari ulama besar dan termasuk fukaha terpandang Ahlusunnah. Nama lengkap beliau Abu Hanifah Nu’man Ibn Tsabit bin Nu’man bin Zuthi bin Marzaban Tsabit. Beliau keturunan Iran dan berasal dari kota Kabul. Kakek Abu Hanifah berasal dari mawali (budak yang dimerdekakan). Abu Hanaifah sendiri dilahirkan pada tahun 80 Hijrah di kota Kufah.
Dalam pandangan ulama Ahlusunnah, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit termasuk fukaha terbesar. Menurut keterangan dari Abu Hanifah sendiri, beliau pernah belajar fikih dan ushul kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Tetapi pendapatnya tersebut ditolak oleh kalangan Ahlusunnah. Banyak sekali riwayat yang menceritakan bahwa Abu Hanifah pernah berjumpa dengan Imam Bagir di kota Madinah dimana ayah dari Imam ash Shadiq ini mengatakan bahwa metodologi qiyas yang dianut oleh Abu Hanifah telah menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad.
Pada masa pemerintahan Mansur Abbasi, Abu Hanifah diminta agar menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut. Karena itu, beliau dijebloskan ke penjara dan disiksa. Akhirnya Abu Hanifah wafat di penjara pada tahun 150 H karena racun yang diberikan padanya.
Umumnya para ulama mengenal Abu Hanifah sebagai seorang fuka yang reformis. Berkaitan dengan istinbath hukum syar’i, beliau memiliki metodologi yang berbeda dengan para fukaha lainnya. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: “Sekiranya Rasulullah berada di tengah-tengah kita sekarang ini, pastilah beliau akan mengatakan apa yang saya katakan.” Para pengikut Abu Hanifah menamakan mazhab dan metodologinya sebagai mazhab “ahli ra’yu” (mazhab pendapat). Sebab, Abu Hanifah cenderung mengedepankan pendapat pribadinya dimana setelah mengeluarkan suatu fatwa beliau mengatakan: Ini adalah pendapat kami. Abu Hanifah berbeda pendapat dengan para ahli hadis.
Beliau lebih mendukung hadis-hadit yang mutawatir saja yang diriwayatkan oleh para tabi’in sedangkan hadis dan khabar mufrad dengan tegas ditolaknya. Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Khaldun bahwasanya, dari sekian banyak hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad hanya 17 hadis saja yang diterima/dipercaya oleh Abu Hanifah. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh latarbelakang beliau sebagai ahli kalam dimana hal ini mempengaruhi metodologi fikh yang dikembangkannya. Beliau menerima qiyas dan istihsan sebagai dasar dalam ijtihad.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi bersandar kepada:
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasulullah saw
3. Fatwa sahabat
4. Qiyas dan ra’yu (pendapat pribadi)
5. Istihsan
6. Ijma’
7. Urf’ (adat/tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Islam).
Berkaitan dengan masalah iman dan kufr (kekafiran), Abu Hanifah berpendapat bahwa keduanya tidak bertambah dan tidak berkurang. Dasar iman adalah tashdiq (pembenaran), sedangkan dasar kekafiran adalah inkar (pengingkaran). Dalam kajian jab’r dan ikhtiar, beliau berkeyakinan bahwa manusia itu bebas untuk beramal. Abu Hanifah memperhatikan sumber perbuatan manusia dimana dalam hal ini beliau menyatakan: “Dalam kaitannya dengan qadha dan qadar, perbuatan manusia seperti pantulan cahaya matahari yang kembali ke matahari itu sendiri.” Di antara ciri khas fatwa yang dikeluarkan Abu Hanifah yang dicatat oleh para peneliti dan para fukaha adalah transparansi, ketegasan dan toleransi.
Dalam perkembangannya Abu Hanifah memiliki banyak sekali murid, diantara murid-muridnya; Zafar bin Hudail, Dawud ath-Thai, Abu Yusuf Qadhi’, Abu Muthi Balhi, Muhammad bin Hasan Syaibani, Asad bin Amr Bajli, Hasan bin Ziyad Lu’lui dan putranya Humad bin Abu Hanifah, Abdullah bin Mubarak, Jarud Naisaburi, Abdul Karim Jarjoni, Abu Na’im dan Waki’.
Dalam pandangan ulama Ahlusunnah, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit termasuk fukaha terbesar. Menurut keterangan dari Abu Hanifah sendiri, beliau pernah belajar fikih dan ushul kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Tetapi pendapatnya tersebut ditolak oleh kalangan Ahlusunnah. Banyak sekali riwayat yang menceritakan bahwa Abu Hanifah pernah berjumpa dengan Imam Bagir di kota Madinah dimana ayah dari Imam ash Shadiq ini mengatakan bahwa metodologi qiyas yang dianut oleh Abu Hanifah telah menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad.
Pada masa pemerintahan Mansur Abbasi, Abu Hanifah diminta agar menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut. Karena itu, beliau dijebloskan ke penjara dan disiksa. Akhirnya Abu Hanifah wafat di penjara pada tahun 150 H karena racun yang diberikan padanya.
Umumnya para ulama mengenal Abu Hanifah sebagai seorang fuka yang reformis. Berkaitan dengan istinbath hukum syar’i, beliau memiliki metodologi yang berbeda dengan para fukaha lainnya. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: “Sekiranya Rasulullah berada di tengah-tengah kita sekarang ini, pastilah beliau akan mengatakan apa yang saya katakan.” Para pengikut Abu Hanifah menamakan mazhab dan metodologinya sebagai mazhab “ahli ra’yu” (mazhab pendapat). Sebab, Abu Hanifah cenderung mengedepankan pendapat pribadinya dimana setelah mengeluarkan suatu fatwa beliau mengatakan: Ini adalah pendapat kami. Abu Hanifah berbeda pendapat dengan para ahli hadis.
Beliau lebih mendukung hadis-hadit yang mutawatir saja yang diriwayatkan oleh para tabi’in sedangkan hadis dan khabar mufrad dengan tegas ditolaknya. Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Khaldun bahwasanya, dari sekian banyak hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad hanya 17 hadis saja yang diterima/dipercaya oleh Abu Hanifah. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh latarbelakang beliau sebagai ahli kalam dimana hal ini mempengaruhi metodologi fikh yang dikembangkannya. Beliau menerima qiyas dan istihsan sebagai dasar dalam ijtihad.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi bersandar kepada:
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasulullah saw
3. Fatwa sahabat
4. Qiyas dan ra’yu (pendapat pribadi)
5. Istihsan
6. Ijma’
7. Urf’ (adat/tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Islam).
Berkaitan dengan masalah iman dan kufr (kekafiran), Abu Hanifah berpendapat bahwa keduanya tidak bertambah dan tidak berkurang. Dasar iman adalah tashdiq (pembenaran), sedangkan dasar kekafiran adalah inkar (pengingkaran). Dalam kajian jab’r dan ikhtiar, beliau berkeyakinan bahwa manusia itu bebas untuk beramal. Abu Hanifah memperhatikan sumber perbuatan manusia dimana dalam hal ini beliau menyatakan: “Dalam kaitannya dengan qadha dan qadar, perbuatan manusia seperti pantulan cahaya matahari yang kembali ke matahari itu sendiri.” Di antara ciri khas fatwa yang dikeluarkan Abu Hanifah yang dicatat oleh para peneliti dan para fukaha adalah transparansi, ketegasan dan toleransi.
Dalam perkembangannya Abu Hanifah memiliki banyak sekali murid, diantara murid-muridnya; Zafar bin Hudail, Dawud ath-Thai, Abu Yusuf Qadhi’, Abu Muthi Balhi, Muhammad bin Hasan Syaibani, Asad bin Amr Bajli, Hasan bin Ziyad Lu’lui dan putranya Humad bin Abu Hanifah, Abdullah bin Mubarak, Jarud Naisaburi, Abdul Karim Jarjoni, Abu Na’im dan Waki’.